Sejarah Dibalik Peringatan Maulid Nabi dan Hukumnya
Maulid Nabi adalah suatu peringatan untuk hari kelahriran Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW sendiri di lahirkan pada hari Senin, Tepatnya pada tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal tahun gajah (570M) di kota Makkah. Dalam acar`a maulid biasanya di isi dengan pembacaan kitab Barzanji dan Diba’ yang berisi tentang sirah atau biografi dari Nabi Muhammad SAW. Dalam maulid Nabi juga biasanya di isi dengan pembacaan shalawat, ceramah keagamaan dan doa.
Tradisi Maulid Nabi adalah tradisi yang baik untuk di lestarikan karena dalam acara ini masyarakat akan berkumpul dan menjadi sarana untuk berda’wah dan juga penyampaian sirah atau biografi Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Pengetahuan tentang sirah atau biografi Nabi Muhammad dapat menguatkan keimanan dan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW. Sudah seharusnya bagi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW untuk mencintai Nabinya dan mengagungkannya.
Imam Syuyuthi menjelaskan : orang pertama yang menyelenggarakan Maulid Nabi adalah Sultan Al-Mudzaffar, penguasaa Arbil (suatu tempat di daerah Iraq timur). Peringatan tersebut dihadiri oleh ulama’ setempat dan orang-orang saleh dari kaum sufi. Tiap tahun Sultan Mudzaffar mengeluarkan biaya sebesar 300.000 dinar untuk peringatan tersebut.
Sekadar berkumpul untuk melaksanakan suatu acara adalah suatu tradisi umum di masyarakat dan tidak terikat dengan unsur ibadah. Akan tetapi, berkumpul untuk melaksanakan kegiatan Maulid Nabi adalah suatu tradisi yang baik karena di dalamnya terdapat banyak kemanfaatan untuk masyarakat secara umum. Di dalam acara tersebut masyarakat yang berkumpul akan mendengar pembacaan biografi Nabi Muhammad SAW. yang akan menanamkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. kepada masyarakat umum. Dalam perkumpulaan tersebut akan di adakan pembacaan shalawat yang sekaligus menjadi suatu majelis dzikir yang sangat dicintai oleh Nabi Muhammad SAW. Perkumpulan tersebut sekaligus menjadi sarana yang baik untuk berda’wah kepada masyarkat umum sebagai syiar agama islam.
Di sebutkan dalam suatu hadist:
عَنْ أبِي قَتَادَةَ الأنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ: «فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ». رواه مسلم.
Dari Abi Qatadah Al-Anshari ra sesungguhnya Rosulullah SAW ditanya tentang puasa di hari Senin. Maka Rosulullah menjawab: “Pada hari itu aku di lahirkan dan pada hari itu wahyu di turunkan kepadaku” (HR. Muslim).
Hadist tersebut menjadi dasar bahwa Rasulullah merayakan hari kelahirannya dengan suatu ibadah sebagai bentuk rasa syukur beliau. Jelaslah sudah bahwa maulidan itu di anggap baik, meski Rasululullah sendiri tidak pernah melakukannya, terlebih lagi di dalamnya terdapat perkara yang dipuji dan dianjurkan oleh syariat, diantaranya : mengingat allah, menjelaskan tabiat-tabiat nabi Muhammad, menyebarkan ilmu, perkumpulan, pemberian makanan, syukur atas nikmat, bahagia dengan pemberian agama, menampakkan syiar agama dan kekuatan islam.
Maka hal itu merupakan kesunnahan yang baik, dengan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam muslim di dalam kitab shohihnya.
قال رسول اللهﷺ : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
خرجه مسلم في صحيحه.
"Rasulullah bersabda: barang siapa menetapkan kesunnahan yang baik di dalam islam lalu orang setelahnya ikut mengamalkannya maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang sudah mengamalkannya dan tidak berkurang sedikitpun pahala-pahala mereka, dan barang siapa menetapkan kesunnahan yang buruk kemudian orang setelahnya juga ikut mengamalkannya maka dia akan mendapat dosa seperti orang yang sudah mengamalkannya, dan tidak berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun". (HR. Muslim)
Imam Syafi’i menggunakan hadist tersebut untuk di jadikan dalil dasar bahwa sesuatu yang baru (bid'ah) itu di bagi menjadi 2. Ada yang terpuji dan ada yang tercela.
Beliau berkata, "bid'ah itu ada 2, ada yang terpuji dan yang tercela. Sesuatu yang sesuai dengan sunnah maka itu adalah bid'ah yang terpuji dan sesuatu yang berlawanan dengan sunnah maka itu adalah bid'ah tercela".
Dari sini dapat di simpulkan bahwa Maulid Nabi yang kita kenal memanglah suatu bid'ah karena tidak di lakukan di zaman nabi, akan tetapi Maulid Nabi adalah bid'ah yang bagus karena isi dari kegiatan tersebut tidak ada yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW, bahkan berisi hal-hal yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Oleh : Abdullah Machbub