Inilah Tugas Komite Hijaz yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah
Komite Hijaz adalah cikal bakal kelahiran Nahdlatul Ulama, komite ini dibentuk dan dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah atas restu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Alasan Mbah Wahab membentuk komite ini bertujuan untuk mengirimkan delegasi Ulama Indonesia yang akan menghadap raja Abdul Aziz bin Saud di daerah Hijaz (Saudi Arabia) pada tahun 1925 untuk menyampaikan beberapa permohonan kepadanya. Misi yang diemban disebabkan kekhawatiran para Ulama’ terhadap rencana raja Abdul Aziz bin Saud yang akan membatasi praktik-praktik keagamaan tradisional dan melarang kebebasan bermadzhab di Hijaz.
Sejak Abdul Aziz bin Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di Tanah Haram, bahkan kelompok Islam lain dilarang mengajarkan madzhabnya dan tidak sedikit para ualama yang dibunuh.
Diantara penyebab munculnya komite Hijaz adalah penghapusan institusi kekhalifahan oleh parlemen Turki pasca Perang Dunia I dan Masuknya Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi dengan menguasai Mekkah yang menjadi sentral ibadah umat Islam. Ketika itu, Saudi berkeinginan menegakkan kembali khilafah yang jatuh dengan menggelar konferensi umat Islam se dunia yang dipusatkan di Mekkah al-Mukarramah.
Seluruh negara Islam didunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya utusan yang direkomendasikan adalah : HOS. Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), dan KH Abdul Wahab Hasbullah (Pesantren). Ikut pula berangkat H. M. Syuja’ (Muhamammadiyyah), H. Abdullah Ahmad (Sumatera Barat), H. Abdul Karim Amrullah (Persatuan Guru Agama Islam).
Namun rupanya ada permainan licik diantara kelompok yang mengusung para calon utusan dari Indonesia. KH. Abdul Wahab Hasbullah dicoret dari daftar calon utusan dengan alasan tidak mewakili organisasi.
Hal ini menyadarkan para ulama akan pentingnya berorganisasi. Akhirnya Kiai Wahab mengorganisir pertemuan ulama pesantren terkemuka di kediamannya, Kertopaten, Surabaya. Akhirnya para ulama’ pesantren membentuk komite bernama Komite Hijaz. Dalam pertemuan tersebut, KH. R. Asnawi Kudus ditunjuk sebagai delegasi resmi Komite Hijaz.
Namun akibat adanya kendala teknis, maka Kiai Asnawi digantikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai ketuanya dan didampingi oleh Syekh Ghanaim al-Misri (ulama Mesir yang mengajar di Surabaya). Adapaun didirikan komite Hijaz ini mempunyai tugas penting, antara lain:
Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermadzhab di negeri Hijaz pada salah satu dari madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam sholat Jumat di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut di bidang tasawwuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti kalangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lain yang sudah terkenal kebenarannya.
Kedua, Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal tempat-tempat tersebut diwaqqfkan untuk masjid seperti tempay kelahira Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya. Di samping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat yang bersejarah tersebut.
Ketiga, Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setipa tahun sebelum datangnya musim haji mengenai tarif atau ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan musthowwif dari mulai Jeddah sampai pulang lagi ke Jeddah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup untuk pulang perginya dan agar mereka tidak dimintai lagi ebih dari ketentuan pemerintah.
Keempat, Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
Kelima, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama memohon balasan surat dari Yang Mulia Raja Ibnu Sa’ud, bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Utusan para ulama pesantren dengan nama Komite Hijaz itu menunai hasil gemilang. Raja menjamin kebebasan beramaliyah dalam madzhab empat di Tanah Haram serta tidak ada penggusuran makam Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya.[1]
Penulis : Muhammad ‘Imaduddin Roshief
Editor : Muhammad Ichlasul Amal
[1] Sumber : Keterangan Drs. KH. Moh. Hasib Wahab saat memberikan pengarahan pada santri di Masjid Jami’ Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Kamis (02/02/23) dan tambahan dari berbagai sumber.