Orang Suka Baca, Kok, Malah Dicela?
Pesantren tempat Ahmad mondok, kedatangan santri baru. Dari info yang didapat, santri yang bernama Lutfi ini pindahan dari pesantren kabupaten sebelah. Sepekan berlalu, dari pengamatan Ahmad, Lutfi lebih sering membaca novel alih-alih mempelajari kitabnya. Sebagai senior, hal ini tentu membuat Ahmad resah. Santri bacanya, kok, novel. Masih santri baru lagi. Kan aneh. Batin Ahmad.
Suatu malam, setelah pengajian rutin Gus Ali dan semua kegiatan selesai, Ahmad ingin mencurahkan sekaligus mengadukan keresahan itu kepada teman diskusi, senior, sekaligus guru privat fiqh-nya di pesantren, Kang Fairuz.
“Assalamu’alaikum, Kang Fairuz,” sapa Ahmad sambil membuka pintu kamar Kang Fairuz perlahan. Yang disapa sedang asyik dengan kitabnya sembari sesekali menyeruput kopi. Perawakan agak tinggi, berkumis tipis, dan ciri paling khas: pecinya yang miring. Kang Fairuz adalah salah satu santri senior yang paling disegani di pesantren Gus Ali karena kecerdasan juga keuletannya membantu Gus Ali mengolah kegiatan-kegiatan santri di pesantren. Kang Fairuz juga terkenal sebagai senior paling ‘moderat’ dan santai. Apalagi ketika menerangkan fiqh, yang disampaikan Kang Fairuz mudah dicerna dan dipahami karena caranya yang menyertakan contoh-contoh sederhana. Selain itu, sifatnya yang nyemanak sama para santri yang lain, khususnya junior-juniornya, membuat Kang Fairuz termasuk dari orang-orang yang disungkani setelah Gus Ali.
“Wa’alaikum salam. Eh, Ahmad, silakan duduk, Mad,” balas Kang Fairuz menutup kitabnya sambil menyodorkan kopi yang mulai dingin, “monggo kopinya disruput. Tapi maaf, udah agak dingin ini. Rokoknya juga, ayo di-sumet,” lanjut Kang Fairuz mengambil satu bungkus rokok dari sakunya lalu diletakkan di hadapan Ahmad.
“Iya, Kang. Makasih,” balas Ahmad setelah beberapa detik merebahkan pantatnya di lantai kamar.
“Ada apa, kok, malam betul kamu kesini, Mad? Bukannya jadwal ‘ngaji privat’ kita libur, ya, malam ini?” tanya Kang Fairuz.
“Memang libur, sih, Kang. Cuma, tujuan saya kali beda. Saya ing—”
“Bentar, Mad, bentar. Korekku ndi, to? Wah, ilang neh,” potong Kang Fairuz sambil merogoh saku bajunya, meraba-raba lantai, memeriksa di balik kitab, mencari koreknya. “Sek. Korekku tadi mana, ya? Lupa aku.”
Kang Fairuz kemudian berdiri, melanjutkan pencarian koreknya ke lemari, memeriksa di antara sela-sela kitab dan buku. “Kamu ingin apa tadi?” tanya Kang Fairuz sambil terus mencari barang yang memang rawan hilang itu.
“Itu, Kang, saya ingin ngadu. Lutfi itu, lho, saya lihat lebih sering baca novel timbang membuka-buka kitabnya,” jawab Ahmad dengan nada yang sedikit menggebu. “Meresahkan banget gitu lho, Kang. Kok, ya, bisa-bisanya santri baca novel. Dia juga baru di sini. Nggak bagus buat pemahamannya, kan, Kang? Baiknya dirampas saja, Kang, novel Lutfi itu. Nggak ada faedahnya,” lanjut Ahmad dengan perasaan bangga karena menganggap bahwa dengan mengadukan ini pada seniornya dirinya bisa dianggap ‘pahlawan’.
Kang Fairuz masih sibuk mencari koreknya. Kemudian, “nah. Iki ketemu,” katanya lirih. Kemudian duduk, membakar ujung rokok lalu menyesapnya dalam-dalam.
Ahmad geleng-geleng bingung melihat kelakuan seniornya ini. “Gimana, Kang?” tanya Ahmad yang menunggu respon dari Kang Fairuz.
“Lutfi santri pindahan itu, to, maksudmu?”
“Iya, Kang.”
“Tadi sore, habis dari kamar mandi aku lewat depan kamarnya, dia lagi asyik sendiri baca novel. Pas aku sapa, dia cuma bales ‘Eh, iya, Kang. Monggo. Maaf, saya sedang bercumbu sama buku’ sambil mesam-mesem nggak jelas,” balas Kang Fairuz tertawa.
Mendengar itu, Ahmad bingung: kok Kang Fairuz biasa-biasa aja, sih? Kang Fairuz yang sukanya buka-buka kitab kuning harusnya, kan, satu pemikiran dengan Ahmad yang tidak setuju bila ada santri yang membaca selain kitab kuning, lha ini Kang Fairuz kok malah membiarkan?
“Lho, Kang. Sampeyan biarkan dia baca novel?” selidik Ahmad, nggak lega sama sikap Kang Fairuz.
“Lha, piye?” tanya Kang Fairuz santai mengembuskan asap rokoknya.
“Nggak sampeyan rampas atau diapain gitu,” jawab Ahmad.
“Lha, gunanya aku ngerampas apa?” tanya lagi Kang Fairuz lalu menyeruput kopi.
“Ya, buku semacam novel itu, kan, bisa memecah fokus santri yang awalnya pada kitab justru sekarang ke bacaan yang nggak ada faedahnya sama sekali. Bacaan fiktif gitu, Kang,” jawab Ahmad lagi.
Kang Fairuz hanya menanggapi pernyataan Ahmad dengan tertawa.
“Kok malah ketawa, sih, Kang?” tanya Ahmad dengan perasaan yang makin dibuat bingung dengan sikap seniornya ini.
“Gini, Mad. Saya jadi ingin cerita,” kata Kang Fairuz. Kemudian mematikan rokoknya.
Meski agak jengkel dengan sikap Kang Fairuz yang ‘ditanya apa jawabnya apa’, Ahmad tetap memperbaiki posisi pantatnya agar lebih enak dengerin cerita Kang Fairuz.
“Dulu, waktu aku masih kecil, bapakku sering membelikan anak-anaknya cerita bergambar, komik, dan sejenisnya. Setelah itu, ketika memasuki fase semi-remaja, novel adalah oleh-oleh wajib dari seorang Bapak ketika pulang dari bekerja untuk anaknya, untukku,” kata Kang Fairuz.
Ahmad masih khidmat menyimak cerita Kang Fairuz.
“Sejak saat itu, aku mulai suka sama yang namanya membaca, Mad. Sebelum Bapakku mondokne aku di sini, aku mulai mencoba membaca buku selain novel. Eh, ternyata seru juga. Dan ketagihan bacaku ya sampe sekarang ini,” lanjut Kang Fairuz tersenyum.
Ahmad manggut-manggut. Baru tahu kalo ternyata ‘guru privat’ fiqh-nya ini juga suka novel.
“Tapi, kan, dia masih baru di sini, Kang?” kata Ahmad ngeyel.
“Iya. Tapi kamu tahu, kan, ayat yang pertama turun kepada Nabi kita?” tanya Kang Fairuz.
“Em,” Ahmad sedikit mengingat-ingat, “iqro’ ya, Kang?”
“Nah. Betul. Artinya itu ‘Bacalah’. Sedari dulu, dalam Islam, Allah membebankan kita untuk membaca. Membaca apa saja untuk menambah wawasan kita. Bukan mengomentari, apalagi mencela orang-orang yang membaca,” lanjut Kang Fairuz.
Masih dengan ekspresi wajahnya yang serius, Ahmad kali ini sedikit tersindir oleh ucapan Kang Fairuz.
“Sekarang kamu tahu, kan, aku sering membaca halaman per halaman kitab kuning mulanya dari mana?” tanya Kang Fairuz cengengesan.
“Dari suka membaca komik dan novel, Kang,” jawab Ahmad agak menunduk malu sebab tujuannya mengadu ternyata tidak sesuai harapan dan sedikit keliru.
“Lha iya. Biarin aja si Lutfi itu. Nggak apa-apa,” kata Kang Fairuz tersenyum.
Ahmad kikuk, menggaruk pantatnya yang tak gatal.
“Eh, denger-denger dari temen kamarnya, dia mahir baca kitab juga,” tambah Kang Fairuz
“Hah?” Ahmad sedikit kaget mendengarnya. “Wah, kurang tau kalo itu, Kang,” Emang iya Lutfi mahir baca kitab? Batin Ahmad.
“Assalamu’alaikum, Kang,” panggil seorang santri dari arah luar kamar, memotong perbincangan Ahmad dan Kang Fairuz.
“Wa’alaikum salam,” jawab Kang Fairuz dan Ahmad hampir bersamaan. “Silakan masuk,” kata Kang Fairuz sambil celingak-celinguk menerka siapa yang datang. Begitu juga Ahmad, menebak siapa yang mampir ke kamar Kang Fairuz malam-malam begini. Biasanya hanya Ahmad yang sering ke sini bila malam datang.
Santri tersebut kemudian masuk setelah dipersilakan, dan duduk. Ahmad kaget ketika tahu kalo ternyata santri yang main ke kamar Kang Fairuz adalah Lutfi, yang menjadi penyebab Ahmad mengadu kepada Kang Fairuz. Tokoh yang diperbincangkan sejak tadi.
“Lhoalah, Lutfi. Ada apa, Lut, malam-malam ke sini?” tanya Kang Fairuz penasaran. Begitu pula Ahmad. Air mukanya penuh selidik: apa maksud kedatangan Lutfi ke sini?
“Maaf, Kang Fairuz, Mas Ahmad, kalo saya mengganggu waktu sampean-sampean ini,” ucap Lutfi. Kang Fairuz hanya menggeleng, tanda bahwa sama sekali tidak terganggu.
“Ada apa?” tanya Kang Fairuz lagi.
“Itu, Kang. Tadi, setelah pengajian rutin Gus Ali, saya dipanggil beliau ke ndalem. Kata beli—"
“Dipanggil Gus Ali? Wah, pasti melanggar, ya, kamu?” potong Ahmad dengan cepat.
Kang Fairuz spontan melempari perut Ahmad dengan korek. Menyuruhnya diam. “Maaf, Kang,” kata Ahmad lirih sambil mesem, merasa bersalah.
“Terus?” tanya Kang Fairuz pada Lutfi.
“Beliau bilang kalo saya diutus jadi perwakilan pondok untuk lomba baca kitab se- kabupaten. Saya nggak berani nolak, Kang. Saya cuma bisa ngangguk menerima mandat beliau,” lanjut Lutfi.
Bagai disambar petir, Ahmad tentu kaget mendengar ucapan santri baru di hadapannya ini. Jika tadi ia tersindir oleh pernyataan Kang Fairuz, kini dengan perkataan Lutfi. Double kill. Sekarang Ahmad cuma bisa menunduk.
“Bagus itu,” tanya Kang Fairuz melirik Ahmad sambil tersenyum. “Terus, tujuanmu ke sini?”
“Tahu saya setuju, beliau bilang kalo saya butuh pendamping. Gus Ali menyarankan sampeyan jadi pendamping saya. Barusan saya lihat, kok, kamar sampeyan lampunya belum mati, ya akhirnya saya memutuskan untuk menyampaikan kabar ini sekarang,” lanjut Lutfi.
“Wadeh, Gus Ali ada-ada saja. Dapuran santri kayak aku gini, kok, dijadiin pendamping lomba baca kitab,” kata Kang Fairuz tertawa cekikikan sambil memukul lengan Ahmad yang sejak tadi menunduk malu karena tahu rupanya Lutfi menjadi perwakilan lomba baca kitab. Ahmad pun ikut tertawa, ucapan Kang Fairuz ini cuma guyon dan salah satu bentuk rendah hati.
“Bagaimana, Kang?” tanya Lutfi memastikan.
“Yasudah. Besok pagi setelah pengajian shubuh kamu ke sini, ya,” jawab Kang Fairuz.
“Wah, siap, Kang. Terima kasih,” ucap Lutfi dengan senang. Kang Fairuz hanya menggangguk tersenyum membalas Lutfi. “Kalo gitu, saya pamit dulu, Kang Fairuz, Mas Ahmad,” pungkas Lutfi sebelum akhirnya keluar meninggalkan Ahmad dan Kang Fairuz kembali berdua.
Setelah langkah Lutfi sayup-sayup menjauh dan menghilang, Ahmad terdiam melihat Kang Fairuz menyeruput tetesan terakhir kopi yang kemudian merebahkan badan di lantai kamar.
“Tuh, liat si Lutfi. Kerjaannya baca novel tapi jadi perwakilan pesantren buat lomba baca kitab,” sindir Kang Fairuz, tertawa terbahak melihat Ahmad yang cuma bisa pringas-pringis.
Modhiaarr aku, batin Ahmad.
. . .
*Oleh: Mohammad Nashihul Khair, santri di Tambakberas dan suka ngopi.