Home Berita Batsul Masail Kisah Inspiratif Sejarah Ruang Santri Tanya Jawab Tokoh Aswaja Dunia Islam Khutbah Amalan & Doa Ubudiyah Sambutan Pengasuh Makna Lambang Sejarah Pesantren Visi & Misi Pengasuh Struktur Jadwal Kegiatan Mars Bahrul Ulum Denah Opini Pendaftaran Santri Baru Brosur Biaya Pendaftaran Pengumuman Statistik Santri Foto Video Kontak Ketentuan Pembayaran
Sejarah

Biografi KH Moch. Nadjib Wahab

Biografi KH Moch. Nadjib Wahab
Biografi KH Moch. Nadjib Wahab

 

Kelahiran

KH Muchammad Nadjib Abdul Wahab atau yang biasa dipanggil Kiai Nadjib dilahirkan  di desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur tepatnya pada bulan 9 semptember 1927.(berdasarkan data paspor). kyai Nadjib merupakan putra ketiga KH Abdul Wahab Chasbullah denga Nyai Asma Said. Sejak kecil, Kiai Nadjib muda sudah dikenalkan dengan pendidikan Al-Qur’an dan kitab kuning.

 

Pendidikan

Sebagai putra kiai pesantren, sejak kecil Kiai Nadjib sudah terbiasa dengan pendidikan Al-Qur’an dan kitab-kitab yang diajarkan melalui Madrasah Mubdil Fan.[1] Kiai Nadjib mempelajari kitab-kitab yg biasa dikaji oleh santri-santri pondok pesantren Tambakberas. Kitab fathul qorib, fathul wahab, ushul fiqih dan bahasa arab adalah beberapa kitab yang beliau pelajari langsung dibawah bimbingan KH Abdul Wahab Chasbulloh, KH Nawawi, Kiai Husni, dan Kiai Abdurrahman.

Setelah sekian tahun belajar dan menekuni kitab di pesantren Tambakberas, Kiai Nadjib berangkat ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk nyantri dan menimba ilmu hadist serta ilmu tafsir selama 4 tahun pada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Seusai mondok di Tebuireng, Kiai Nadjib melanjutkan pengembaraan Keilmuannya di Pesantren Lirboyo dibawah bimbingan KH Abdul Manaf (Mbah Karim). Di pesantren ini Kiai Nadjib mengaji dan menggali ilmu tasawuf serta ilmu lainnya selama 2 tahun.

Kemudian dengan izin dari Mbah Manaf beliau melanjutkan nyantri di Pesantren Langitan, Widang, Tuban. Setelah itu Kiai Nadjib melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pesantren Pabelan Magelang, dilanjutkan ke Pesantren Karang Ampel Cirebon. Kiai Nadjib juga sempat nyantri kilatan di beberapa pesantren lainnya. Dari pesantren ke pesantren Kiai Nadjib berkeliling bertahun-tahun guna menimba ilmu dan memperbanyak guru serta ngalap (mencari dan mengharap) barokah dari para Kiai.

Kiai Nadjib juga mengembangkan pendidikannya di luar pesantren melalui pendidikan Kulliyatul Muballighin di Semarang selama 2 tahun. Selama mengikuti pendidikan inilah berkat kecerdasan dan kesederhanaannya Kiai Nadjib aktif diberbagai organisasi dan melebur diri serta mewarnai Organisasi Kepemudaan dan ke-NU-an. Hal ini pada akhirnya menghantarkan Kiai Nadjib menjadi sekretaris NU Wilayah Jawa Tengah pada tahun 1953 di usianya yang masih relatif muda yakni 26 tahun.

Kiai Nadjib melanjutkan studinya di Fakultas Hukum, bahan studi yang dicintainya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sampai tahun 1955. Kemudian dengan tekad kuatnya dalam menimba ilmu pengetahuan dan restu dari Kiai Wahab Chabullah ayahandanya, Kiai Nadjib meneruskan studinya ke luar negri. Akhirnya ia dikirim ke Al-Azhar Cairo Mesir pada tahun 1956. Di Al-Azhar inilah ia mengambil spesialisasi hukum internasional. Guru-guru Kiai Nadjib antara lain : Syeikh Ahmad Muhammad Al Madani, Syeikh Zarqani, Syeikh Abdul Wahab,  dan masih banyak lagi.

Ketika belajar di Mesir, Kiai Nadjib juga selalu aktif di organisasi kemahasiswaan seperti HIPPI (Himpunan Pelajar Pemuda Indonesia). Berkat keaktifannya ia terpilih sebagai koordinator HIPPI Timur Tengah membawahi negara-negara Arab, Irak, dan Lebanon.

Setelah menuntaskan  masa belajar di Al-Azhar Mesir selama 5 tahun, Kiai Nadjib kembali ke Indonesia tepatnya tahun 1961 dan berhasil menjadi mahasiswa dengan predikat lulus sempurna serta mendapat gelar LML.

 

Pernikahan

Saat Kiai Nadjib berusia 36 tahun di sela- sela keaktifannya menggeluti dunia organisasi dan politik, tepatnya pada tahun 1963, ia menikah dengan seorang gadis pekalongan bernama Salmah Hayati Binti Ahmad Zahid.

Perjalanan organisasinya terus berlanjut dan menguat, terbukti dengan terpilihnya Kiai Nadjib sebagai anggota DPR-GR pada tahun 1962 dan anggota MPR pada tahun 1971.

 

Khidmah di Pondok Pesantren dan Nahdlatul Ulama

Setelah meninggalnya KH Abdul Fattah Hasyim pada tahun 1977, Kiai Nadjib kembali ke Tambakberas guna mengabdi dan memimpin pesantren. Dalam upayanya meningkatkan mutu dan kualitas santri dan pondok pesantren, Kiai Nadjib menata administrasi dan struktur kepengurusan pesantren. Pada masa inilah muncul istilah rois khos ( ketua komplek ), korps dakwah, pengajian sentral malam selasa, dan struktur ta’mir masjid.

Saat muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, Kiai Nadjib dipilih sebagai salah seorang Rois Syuriah PBNU. Berkat kealiman dan keteguhannya, pada tanggal 2 september 1985 melalui konferensi kerja NU wilayah Jawa Timur di Bettet, Pamekasan, secara aklamasi ia dipilih sebagai Rois Syuriah NU Jawa Timur.

Pada masa kepemimpinan Kiai Nadjib inilah nama Tambakberas memasyarakat dan mulai berkembang ribath-ribarh baru untuk menampung santri yang kian ramai.

 

Wafat

Tanggal 16 Oktober yang bertepatan pada hari Jum’at beliau jatuh sakit dikarenaan keletihan dan kesehatannya mulai berkurang, sempat empat hari dirawat di Rumah Sakit Daerah di Jombang. Pada hari selasa, 20 Oktober 1987 tepat nya pada pukul 10:30 WIB. Kiai Nadjib menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 60 tahun.

Jenazah Kiai Nadjib dikebumakan di komplek pemakaman keluarga KH Abdul Wahab Hasbullah, Tambakberas Jombang (komplek makam utara).[2]

 

Oleh : Muhammad Daud Hidayatullah

Editor : Muhammad Ichlasul Amal  

 

 

[1] Cikal bakal madrasah yang sekarang masih eksis dengan berbagai tingkatan seperti Madrfasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Madrasah Muallimin Muallimat.

[2] Sumber : Tim Sejarah Tambakberas, Tambakberas Menelisik Sejarah Memetik Uswah Edisi Ketiga (Jombang : Pustaka Bahrul Ulum, Cet. III, 2019)